Nunung Nurwati, Nugraha Setiawan, Yahya Asari
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Padjadjaran
Hampir semua responden Pasangan Usia Subur baik suami maupun isteri dari keluarga PraKS berpendidikan SLTA ke bawah. Lebih dari setengah responden suami keluarga PraKS menikah di bawah usia 25 tahun. Demikian pula pada responden isteri keluarga Pra KS, umur pertama kali menikah masih banyak di bawah usia 20 tahun. Di pihak lain bagi anak sendiri para responden berharap umur pertama kali menikah adalah 20 tahun meskipun proporsinya kecil (di bawah 10%). Istri yang menikah lebih dari dua kali terjadi pada kelompok keluarga PraKS.
Banyaknya responden isteri keluarga PraKS yang menikah di bawah usia 20 tahun menghasilkan lebih banyak responden yang melahirkan anak pertama pada usia 15-19 tahun dibanding pada KS2 dan KS3+. Dalam hal pemberian ASI, pada umumnya lama menyusui pada semua tahapan keluarga adalah antara 19-24 bulan. Meskipun demikian pada kelompok PraKS dalam proporsi yang kecil (sekitar 10%) masih terdapat responden yang menyusui kurang dari 12 bulan.
Dengan kondisi Pra KS seperti tersebut, rata-rata jumlah anak yang pernah dilahirkan keluarga Pra KS menempati angka paling tinggi yaitu 2,37dibanding 2,04 pada keluarga KS2 dan 2,14 pada keluarga KS3+. Namun demikian pada semua kategori keluarga, ternyata masih ada keluarga yang menginginkan anak lebih dari tiga.
Pada semua tahapan keluarga dan pada semua tingkat pendidikan, isteri maupun suami, terdapat indikasi rata-rata jumlah anak (yang masih hidup) sesuai dengan sasaran KB yaitu antara 1 sampai 2 anak. Proporsi isteri maupun suami yang memiliki anak 1 sampai 2 semakin tinggi sejalan dengan semakin tinggi pendidikan responden. Di pihak lain yang anaknya 3 - 4 orang proporsinya semakin menurun dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Yang perlu mendapat perhatian adalah masih adanya responden yang memiliki anak 5 sampai 6 orang terutama pada keluarga Pra KS. Dikaitkan dengan keikutsertaan dalam KB, pada semua tahap keluarga responden yang ber KB memiliki anak 1 sampai 2 orang menempati proporsi yang terbesar. Mekipun demikian tidak sedikit juga yang memiliki anak lebih dari 3 orang.
Tulisan lengkap Download di: Pustaka Unpad (pdf)
06 April 2009
15 Maret 2009
Penyusunan Model Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kependudukan di Kota Bandung
Nunung Nurwati, Nugraha Setiawan, Yahya Asari
Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah disebutkan bahwa perkembangan kependudukan diarahkan kepada: (1) terkendalinya kuantitas, (2) berkembangnya kualalitas, dan (3) terarahnya mobilitas untuk terwujudnya penduduk sebagai potensi SDM menjadi kekuatan pembangunan, ketahanan nasional, memberi manfaat bagi penduduk dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Penduduk merupakan modal dasar dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar merupakan potensi pembangunan, yang berarti suatu daerah mempunyai sumber daya manusia yang cukup. Namun, jurnlah yang besar tanpa berkualitas, menjadi ancaman pembangunan. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk yang pesat perlu dibarengi dengan upaya penanganan pengendalian dan peningkatan kualitasnya agar tidak menjadi beban bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan. Jumlah penduduk yang besar tentunya dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan. Sehingga saat ini masalah kependudukan merupakan isu penting yang perlu ditangani secara serius. Penanganan masalah kependudukan, terutama di kota-kota besar termasuk Kota Bandung, merupakan salah satu masalah yang cukup rumit dan kompleks.
Laporan lengkap: Download di Pustaka Unpad
Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah disebutkan bahwa perkembangan kependudukan diarahkan kepada: (1) terkendalinya kuantitas, (2) berkembangnya kualalitas, dan (3) terarahnya mobilitas untuk terwujudnya penduduk sebagai potensi SDM menjadi kekuatan pembangunan, ketahanan nasional, memberi manfaat bagi penduduk dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Penduduk merupakan modal dasar dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar merupakan potensi pembangunan, yang berarti suatu daerah mempunyai sumber daya manusia yang cukup. Namun, jurnlah yang besar tanpa berkualitas, menjadi ancaman pembangunan. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk yang pesat perlu dibarengi dengan upaya penanganan pengendalian dan peningkatan kualitasnya agar tidak menjadi beban bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan. Jumlah penduduk yang besar tentunya dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan. Sehingga saat ini masalah kependudukan merupakan isu penting yang perlu ditangani secara serius. Penanganan masalah kependudukan, terutama di kota-kota besar termasuk Kota Bandung, merupakan salah satu masalah yang cukup rumit dan kompleks.
Laporan lengkap: Download di Pustaka Unpad
14 Maret 2009
Satu Abad Transmigrasi Di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005
Nugraha Setiawan
Jurnal Historia, Vol.3, No.1, pp.13-35
Abstrak
Transmigrasi merupakan bentuk migrasi penduduk yang khas Indonesia. Selama satu abad pelaksanaannya (1905-2005), yang dimulai pada jaman pemerintahan kolonial Belanda dengan nama kolonisasi, hingga jaman reformasi saat ini, secara demografis belum bisa dikatakan berhasil. Selain tujuan demografis, pada setiap periode memiliki tujuan yang berbeda-beda, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dalam tulisan ini dideskripsikan pelaksanaan transmigrasi pada periode pemerintahan kolonial Belanda yang terdiri atas masa percobaan, masa Lampongsche volksbank, dan masa depresi ekonomi dunia, kemudian pada jaman pendudukan tentara Jepang, serta jaman setelah kemerdekaan Indonesia yang terdiri atas masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Kata kunci: transimgrasi, Indonesia, 1905-2005
Tulisan lengkap: Download di Pustaka Unpad (pdf)
Jurnal Historia, Vol.3, No.1, pp.13-35
Abstrak
Transmigrasi merupakan bentuk migrasi penduduk yang khas Indonesia. Selama satu abad pelaksanaannya (1905-2005), yang dimulai pada jaman pemerintahan kolonial Belanda dengan nama kolonisasi, hingga jaman reformasi saat ini, secara demografis belum bisa dikatakan berhasil. Selain tujuan demografis, pada setiap periode memiliki tujuan yang berbeda-beda, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dalam tulisan ini dideskripsikan pelaksanaan transmigrasi pada periode pemerintahan kolonial Belanda yang terdiri atas masa percobaan, masa Lampongsche volksbank, dan masa depresi ekonomi dunia, kemudian pada jaman pendudukan tentara Jepang, serta jaman setelah kemerdekaan Indonesia yang terdiri atas masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Kata kunci: transimgrasi, Indonesia, 1905-2005
Tulisan lengkap: Download di Pustaka Unpad (pdf)
12 Maret 2009
Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Analisis Urbanisasi
Nugraha Setiawan
Perbedaan dan perubahan konsep perkotaan, baik secara spasial maupun antar waktu sering menyulitkan dalam analisis urbanisasi. Kesulitan secara spasial terjadi jika pada tahun yang sama satu wilayah menggunakan konsep perkotaan yang berbeda dengan wilayah lainnya. Demikian pula jika satu wilayah menggunakan konsep perkotaan yang tidak sama pada waktu yang berbeda. Konsep perkotaan di Indonesia sejak sensus penduduk 1961-2000 telah berubah sebanyak empat kali, konsep yang sama hanya digunakan pada tahun 1980 dan 1990. Adanya perubahan tersebut tidak berimplikasi terhadap analisis urbanisasi secara spasial, sebab penerapan konsepnya berlaku secara nasional. Namun demikian, sangat berimplikasi terhadap analisis urbanisasi yang dilakukan antar waktu, sebagai dampak besarnya pengaruh reklasifikasi wilayah yang disebabkan oleh perubahan konsep perkotaan.
Tulisan lengkap: Download di Pustaka Unpad (pdf)
Perbedaan dan perubahan konsep perkotaan, baik secara spasial maupun antar waktu sering menyulitkan dalam analisis urbanisasi. Kesulitan secara spasial terjadi jika pada tahun yang sama satu wilayah menggunakan konsep perkotaan yang berbeda dengan wilayah lainnya. Demikian pula jika satu wilayah menggunakan konsep perkotaan yang tidak sama pada waktu yang berbeda. Konsep perkotaan di Indonesia sejak sensus penduduk 1961-2000 telah berubah sebanyak empat kali, konsep yang sama hanya digunakan pada tahun 1980 dan 1990. Adanya perubahan tersebut tidak berimplikasi terhadap analisis urbanisasi secara spasial, sebab penerapan konsepnya berlaku secara nasional. Namun demikian, sangat berimplikasi terhadap analisis urbanisasi yang dilakukan antar waktu, sebagai dampak besarnya pengaruh reklasifikasi wilayah yang disebabkan oleh perubahan konsep perkotaan.
Tulisan lengkap: Download di Pustaka Unpad (pdf)
05 Oktober 2008
South Africa: Universities Set Priorities for Research
Karen Macgregor
South Africa is among three dozen countries that make it into the top 500 of world university rankings. Unable to compete against the best on Earth across all fields, some local universities are building excellence in a few disciplines where they are able to shine internationally – and thereby attract top researchers and students.
Four South African universities – 17% of the country’s institutions – are ranked in the top 500 of the 2007 Shanghai Jaio Tong rankings. For the first time this year, an African university made it into the Times Higher Education Supplement-QS top 200: Cape Town squeaked in at number 200.
The universities listed by Shanghai Jiao Tong are: Cape Town (253), the Witwatersrand (398), KwaZulu-Natal (475) and Pretoria (487). The only other ranked African institution is Cairo University in Egypt (406).
In terms of numbers of universities in the Shanghai rankings, this places South Africa ‘ahead’ of countries such as Russia, Poland, Greece, Hungary, Czech, Turkey, India, Singapore, Mexico, Argentina and Chile; on a par with Norway; and just behind New Zealand, Hong Kong, Finland and Brazil.
In its cluster, the University of Cape Town ranks near the universities of Auckland in New Zealand, Bath and Dundee in Britain, two top-rated Spanish universities, Bochum in Germany, Bologna in Italy and Calgary in Canada.
But South Africa’s 23 universities, although often very large in terms of student numbers, are “very small in terms of research capacity”, said Professor Anastassios Pouris, director of the Institute for Technological Innovation at the University of Pretoria.
“It is terribly difficult to compete across the board with the very best universities in the world, which have huge resources. Instead, some of our research universities are specialising in particular disciplines where they have strengths.
“A university can be near the top 100 worldwide in one or two disciplines, even if it is not in the top 100 university rankings, enabling it to attract strong researchers and students in that field,” Pouris told University World News. His University of Pretoria has set a priority on engineering and science, areas in which it excels.
While often surrounded by controversy, and admittedly constrained by their own criteria, Pouris believes university rankings nevertheless provide grounds for evaluation. He notes they are used by students, employers and others to inform decisions about universities.
“Officially, universities say they are not influenced by or interested in rankings. Unofficially, many compete strongly and take steps to be part of the lists. The reason is marketing, in the competition to attract the best researchers and students. Rated universities advertise their positions, while others find reasons why rankings should not apply to them.”
Last year, Pouris conducted a South African research ranking exercise, investigating the disciplinary strengths and international standing of local universities by measuring their inclusion in the top 1% of world institutions cited in the international scientific literature.
Pouris interrogated the 2005 US Essential Science Indicators (ESI) database of the Institute for Scientific Information. The ESI provides information on the top 1% of most cited institutions worldwide during the most recent 10 years across 22 scientific fields (each field has a citation frequency threshold of 1%).
He reported his findings in the Netherlands-based International Journal of Higher Education and Planning. South Africa ranked 36 out of 147 countries whose universities made the ESI citation thresholds. Pouris identified six universities that were included to a certain extent in the top 1% of the ESI, with citation ‘footprints’ in nine of the 22 broad scientific disciplines (institutions have to qualify in all scientific fields to be listed in the database).
The universities were Cape Town, Free State, KwaZulu-Natal, Pretoria, Stellenbosch and the Witwatersrand (Wits). Wits met the threshold in seven scientific fields, Cape Town in six, Pretoria and KwaZulu-Natal in four, and Stellenbosch and Free State in two.
While other South African universities produced internationally visible research, they did not make the top 1% threshold in any discipline. All six universities that did, had a presence in clinical medicine, and in plant and animal science. Three institutions – Cape Town, Pretoria and KwaZulu-Natal – were listed in environment and ecology, and three (Cape Town, Wits and KwaZulu-Natal) in the social sciences.
Pretoria and Wits had a presence in engineering, and Cape Town and Wits in geosciences, while Cape Town was the only university that met the threshold in biology and biochemistry, and only Wits was listed for chemistry and for materials science.
In environment and ecology, Cape Town was ranked 103 among the world’s universities; in geosciences Wits was ranked 166 worldwide; and in plant and animal science Cape Town was ranked 188 and Pretoria 200 in the world.
Pouris’ research led him to conclude that South Africa was not effectively supporting fields of research in which it excels. That was because the government is not sufficiently focused on areas of established excellence, is not pumping enough funding into university-based research and is not properly implementing the research priorities that it identifies.
Source: http://www.universityworldnews.com
South Africa is among three dozen countries that make it into the top 500 of world university rankings. Unable to compete against the best on Earth across all fields, some local universities are building excellence in a few disciplines where they are able to shine internationally – and thereby attract top researchers and students.
Four South African universities – 17% of the country’s institutions – are ranked in the top 500 of the 2007 Shanghai Jaio Tong rankings. For the first time this year, an African university made it into the Times Higher Education Supplement-QS top 200: Cape Town squeaked in at number 200.
The universities listed by Shanghai Jiao Tong are: Cape Town (253), the Witwatersrand (398), KwaZulu-Natal (475) and Pretoria (487). The only other ranked African institution is Cairo University in Egypt (406).
In terms of numbers of universities in the Shanghai rankings, this places South Africa ‘ahead’ of countries such as Russia, Poland, Greece, Hungary, Czech, Turkey, India, Singapore, Mexico, Argentina and Chile; on a par with Norway; and just behind New Zealand, Hong Kong, Finland and Brazil.
In its cluster, the University of Cape Town ranks near the universities of Auckland in New Zealand, Bath and Dundee in Britain, two top-rated Spanish universities, Bochum in Germany, Bologna in Italy and Calgary in Canada.
But South Africa’s 23 universities, although often very large in terms of student numbers, are “very small in terms of research capacity”, said Professor Anastassios Pouris, director of the Institute for Technological Innovation at the University of Pretoria.
“It is terribly difficult to compete across the board with the very best universities in the world, which have huge resources. Instead, some of our research universities are specialising in particular disciplines where they have strengths.
“A university can be near the top 100 worldwide in one or two disciplines, even if it is not in the top 100 university rankings, enabling it to attract strong researchers and students in that field,” Pouris told University World News. His University of Pretoria has set a priority on engineering and science, areas in which it excels.
While often surrounded by controversy, and admittedly constrained by their own criteria, Pouris believes university rankings nevertheless provide grounds for evaluation. He notes they are used by students, employers and others to inform decisions about universities.
“Officially, universities say they are not influenced by or interested in rankings. Unofficially, many compete strongly and take steps to be part of the lists. The reason is marketing, in the competition to attract the best researchers and students. Rated universities advertise their positions, while others find reasons why rankings should not apply to them.”
Last year, Pouris conducted a South African research ranking exercise, investigating the disciplinary strengths and international standing of local universities by measuring their inclusion in the top 1% of world institutions cited in the international scientific literature.
Pouris interrogated the 2005 US Essential Science Indicators (ESI) database of the Institute for Scientific Information. The ESI provides information on the top 1% of most cited institutions worldwide during the most recent 10 years across 22 scientific fields (each field has a citation frequency threshold of 1%).
He reported his findings in the Netherlands-based International Journal of Higher Education and Planning. South Africa ranked 36 out of 147 countries whose universities made the ESI citation thresholds. Pouris identified six universities that were included to a certain extent in the top 1% of the ESI, with citation ‘footprints’ in nine of the 22 broad scientific disciplines (institutions have to qualify in all scientific fields to be listed in the database).
The universities were Cape Town, Free State, KwaZulu-Natal, Pretoria, Stellenbosch and the Witwatersrand (Wits). Wits met the threshold in seven scientific fields, Cape Town in six, Pretoria and KwaZulu-Natal in four, and Stellenbosch and Free State in two.
While other South African universities produced internationally visible research, they did not make the top 1% threshold in any discipline. All six universities that did, had a presence in clinical medicine, and in plant and animal science. Three institutions – Cape Town, Pretoria and KwaZulu-Natal – were listed in environment and ecology, and three (Cape Town, Wits and KwaZulu-Natal) in the social sciences.
Pretoria and Wits had a presence in engineering, and Cape Town and Wits in geosciences, while Cape Town was the only university that met the threshold in biology and biochemistry, and only Wits was listed for chemistry and for materials science.
In environment and ecology, Cape Town was ranked 103 among the world’s universities; in geosciences Wits was ranked 166 worldwide; and in plant and animal science Cape Town was ranked 188 and Pretoria 200 in the world.
Pouris’ research led him to conclude that South Africa was not effectively supporting fields of research in which it excels. That was because the government is not sufficiently focused on areas of established excellence, is not pumping enough funding into university-based research and is not properly implementing the research priorities that it identifies.
Source: http://www.universityworldnews.com
Langganan:
Postingan (Atom)